Antara Peraturan Sekolah, Polisi dan Hakim
setiap sekolah pasti mempunyai peraturan. namun, tidak bisa dipungkiri bahwa hadirnya peraturan belum tentu menjamin lahirnya suasana sekolah yang diinginkan. bahkan peraturan yang banyak dan keras terkadang menjadi bumerang bagi sekolah. oleh karena itu, kehadiran sosok-sosok guru yang berwibawa menjadi pilar penting bagi terwujudnya suasana sekolah yang diimpikan.
peraturan tinggallah peraturan. begitulah yang sering kita jumpai. kita ambil contoh, di perempatan jalan sudah ada lampu pengatur lalu lintas, traffic light. Disana juga sudah pos polisi. spanduk yang mengingatkan masyarakat agar tertib berlalu lintas juga sudsah terpampang. namun, jika tidak suana penuh pelanggaran menjadi kondisi yang penuh ketaatan pada peraturan.ada yang bertugas, tetap saja sebagian pengendara tidak segan melanggar lampu merah dan mengabaikan keselamatan dirinya dan orang lain. inilah cerminan tingkah laku sebagian masyarakat kita.
ya, traffic light dan spanduk peringatan saja ternyta masih belum cukup. polisi masih dibutuhkan untuk menegakan fungsi traffic light dan spanduk tersebut. meskipun ada orang yang duduk di dalam pos polisi tetapi kalau mereka tidak berseragam cokelat, tetap saja ada pengendara yang melanggar rambu lalu lintas artinya peraturan tidak dijalankan. itu menunjukan bahwa sosok berseragam cokelat lebih penting dari sosok manapun dalam penegekan peraturan lalu lintas.
lalu apa hubungannya dengan guru super?, kita bisa menyamakan peraturan sekolah dengan rambu rambu lalu lintas itu. sementara itu, para guru adalah polisi yang menjadi simbol penegakkan disiplin. guru adalah peraturan yang berjalan. guru adalah prosedur. guru juga seorang atasan yang siap memberikan training jika ada siswa yang melanggar peraturan. dan, di lain sisi gur adalah hakim yang harus memberikan keputusan seadil mungkin bagi para pelanggar peraturan.
Bahkan Atribut pun Berbicara
Dalam tahap tertentu, atribut dari seorang guru yang berwibawa dapat dipersonafikasi sebagi sosok guru itu sendiri oleh ara siswa. artinya, para siswa akan menganggap kehadiran atribut milik gurunya itu seperti kehadiran sosok guru itu sendiri, sekaligus menjadikan atribut itu sebagai peraturan yang selalu ditegakan oleh sang guru. pada tahap ini, fisik guru terkadan tidak perlu hadir dihadapan siswanya.
contoh sederhana, beberapa siswa sedang berjalan ke arah ruangan kepala sekolah. mereka saling cerita sehingga menimbulkan suara gaduh. ketika melihat sepatu kepala sekolah ada didepan ruangannya, siswa siswinya tersebut langsung menghentikan pembicaraannya tanpa dikomando. sepatu kepala sekolah itu diasosiasikan sebagai figur kepala sekolah oleh mereka. dan, sosok kepala sekolah sama dengan peraturan yang harus ditegakkan. oleh karena itu, melihat sepatu kepala sekolah di depan ruangan , siswa siswi itu berbisik pelan "sst.., jangan gaduh!, ada bapak kepala sekolah." padahal saat itu kepala sekolah sedang pergi.
jadi, semakin tinggi wibawa seorang guru di mata para siswa, semakin ringanlah pekerjaannya. dia tidak perlu lagi berteriak ketika siswanya membuat gaduh. cukup dengan menghadirkan dirinya di hadapan siswa siswinya yang melakukan pelanggaran, siswa siswi itu akan berhenti dengan sendirinya. bahkan, kalau guru tersebut pergi meninggalkan sekolah, dia cukup memarkir sepatu di depan ruangan. dengan sendirinya para siswa segan untuk melakukan kesalahan atau pelanggaran.